Senin, 15 November 2010

Destinasi Cinta Salwa

Bagian 1

Pernikahan

Malam berarak perlahan meninggalkan senja yang berhawa begitu dingin. Langit tampak begitu gelap dan pekat tampa terlihat cahaya bulan dan bintang yang menghiasinya. Tampaknya hujan akan segera mencurah menyirami bumi yang tandus ini.
“mak … Awa dah pun membuat keputusan.” Beritahuku pada wanita kurus yang selalu aku sanjungi sepanjang hayatku itu pada saat kami sedang menikmati makan malam yang sederhana di ruang tengah gubuk ku yang terindah pada suatu hari.
Wajah emak yang tadi terlihat tampa makna kini berubah penuh tanda Tanya memandangku dengan tatapan heran. Sesaat emak kembali dengan kesibukannya yang memaksakan diri untuk memasukan nasi kemulutnya. “mak… Awa telah membuat suatu keputusan.” Ulangku lagi pada emak yang tak menampakkan ekspresi apapun.
“keputusan tentang ape Awa?” respon emak seraya menyudahi makannya. Aku telah sejak tadi menyelesaikan makan malamku. Sengaja ku pilih waktu seperti itu karena memang aku tak pernah punya waktu yang cukup baik untuk berbicara dengan emak. Kesibukanku di kampus dan beberapa organisasi yang ku ikuti sangat cukup menyita waktuku. “pasal pinangan itu.” Ujarku tak berbasa basi.
Emak kembali menatapku dengan tatapan herannya. Beliau seolah-olah penasaran dengan keputusan yang telah kubuat setelah mempertimbangkan baik buruknya. Keputusan yang akan merubah dan menentukan jalan hidupku selanjutnya. Tatapannya penuh tanda Tanya keputusan apakah yang telah aku buat.
“sepertinya ini adalah takdir Allah yang telah tergaris di tapak tangan, untuk itu Awa ikhlas dengan jodoh yang telah emak pilihkan untuk Awa.” Terasa sangat perih hatiku disaat mengucapkan semua itu. Terasa titis hangat jatuh ke pipi ku, dengan segera kuseka ia dan membujuk hati ku sendiri.
Emak menggeserkan tubuhnya didekatku. Dipeluknya aku dengan dekapan yang hangat. Sungguh tak dapat ku pahami pelukan apakah itu. Pelukan yang menggambarakan bahwa hatinya sedang bahagia tau pelukan untuk menenangkan hatiku yang sedang berkecamuk. Hanya emak yang tau sejatinya.
‘Alhamdulillah, semoga Awa akan bahagia kelak.” Ucap wanita yang senantiasa sabar ini padaku. Hatiku semakin perih bak diiris dengan belati. Tapi biarlah aku saja yang memakan hatiku sendiri daripada aku memakan hati seorang wanita yang telah melahirkan aku dengan taruhan nyawanya itu.
“kalau begitu… nanti mak akan bicarekan lagi semue nye dengan Akmal, atau mungkin Awa mau mak jumpekan dengan Akmal?” ucap emak dengan menyungging senyumnya yang merekah.
“Tak payah lah mak, tiap hari Awa jumpe Akmal di kampus. Kalau memang mak nak berunding sile ajelah berunding dan putuskan segale sesuatunye dengan Long Karim dan keluarge Akmal.” Sengaja ku pilih untuk bersikap demikian, karena aku takut keputusan yang telah kubuat dengan susah payah itu akan berubah lagi jika aku kerap berbicara dan bertemu dengan keluarga Akmal. Biarlah aku menghadapi mereka pada hari pernikahan saja, karena pada saat itu aku tidak mungkin punya pilihan lain selain menerimanya.
“kenape pulak macam tu? Kan lebih baek Awa becakap langsung dengan Akmal. Bukankah semenjak beberape bulan terakhir ini hubungan silaturahmi kalian berdue tak begitu baek?” emak mulai mempersoalkan keputusanku.
“Awa telah memenuhi kehendak emak dan Along… bolehkah untuk kali ini emak mendengarkan permintaan Awa?” aku berlalu kemudian meninggalkan emak dalam keadaan tercengang dengan permintaanku itu.
Tak kuasa kutahan tangisku yang sudah menghujam. Kuluapkan segalanya diatas tilam milikku. Tiba-tiba bayang-bayang dari sosok lelaki ligat dan cerdas memenuhi ruang pikirku. Seorang lelaki yang telah menggoda hatiku begitu jauh dan dalam. Tapi dia tidak bisa kupertahankan.
“maafkan aku Rasya… andai saja kamu lebih berani…” sunguh tak sanggup untuk kulanjutkan kata-kataku lagi. Tak ada gunanya mengaharpkan lelaki pengecut seperti Rasya. Tiada gunanya memikirkan seorang pecundang cinta yang tak bisa keluar dari rasa takutnya pada masa depan. “sudahlah Awa… lupakan dia dan terimalah Akmal dengan hati yang ikhlas.” Pujuk diriku sendiri.
***
Dua minggu telah berlalu. Kini aku telah menjadi istri seorang bernama Akmal Syihab bin Marzuki. Dengan sebuah pesta pernikahan yang cukup sederhana telah kulalui sebuah akad pernikahan yang syah dimata agama dan hukum.
Aku siapkan kamar tidur seadanya. Ku letakkan pakaian persalinan untuk suamiku di atas katil. Kutunggu ia keluar dari bilik air dengan perasaan yang tak menentu. Kupersiapkan diriku sepatutnya seorang istri yang menunggu suaminya. Walau begitu hancur batinku, kutarik kedua ujung bibirku menyungging sebuah senyum. Dia keluar sambil tersenyum kearahku.
Pikiranku masih asyik dengan kegalauannya. Sungguh tak pernah kuduga Akmal lah yang akan mendampingi hidupku. Seorang rekan kuliah yang tak pernah menempati tempat special dihatiku, kini justru menjadi imamku.
“sayang, boleh tak ambilkan saye segelas air?” pintanya sambil mengelapkan handuk di kepalanya.
“iye… ini bajunye.” Ucapku menyodorkan baju gantinya dan bergegas kedapur mndapatkan segelas air putih suam kuku.
Air mataku menetes perlahan. Kulihat suasana rumah yang sudah senyap. Jam dinding yang terpasang diruang tamu menunjukkan pukul 2 pagi. Ku kesat air mata yang menetes dipipiku dengan jari tangan. Segera aku kembali ke kamar tidurku.
Sewaktu aku kembali kekamar, kulihat suamiku sedang khusuk berdoa diatas sajadah. Mulutnya berkomat kamit tak tahu apa yang diucapkannya. Kunanti ia menyelesaikan doanya. Kemudian ia bangun dan menghampiriku. Ku hulurkan segelas air padanya. Ku kumpulkan seluruh keteguhan hatiku untuknya. Aku berusaha mempersiapkan diri sebagi seorang istri yang mampu menyediakan dan memenuhi segala keperluan dan kebutuhan suamiku.
“Assalamualaikum, wahai pintu rahmat.” Bisik Akmal padaku.
‘Waalaikummusalam, wahai tuan pemilik yang mulia.” Jawabku.
Malam yang hitam pekat itu kulalui dengan bertemankan seorang lelaki yang telah kuserahkan segenap jiwa dan ragaku padanya. Sebagi seorang istri, aku mesti senantiasa patuh selagi ia tidak bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul.
Rasulullah bersabda:
“sebaik-baik istri itu ialah yang dapat menenangkan kamu apabila kamu melihatnya dan taat kepada kamu apabila kamu perintah dan memelihara dirinya dan menjaga harta kamu apbila kamu tiada.”
Rasulullah juga bersabda:
“Setiap wanita itu adalah pengurus sebuah rumah tangga suaminya dan akan ditanya hal urusan itu.”
Selanjutnya Rasulullah bersabda:
“sesungguhnya wanita yang baik itu adalah wanita yang beranak, besar cintanya, pemegang rahasia, berjiwa kesatria terhadap keluarganya, patuh terhadap suaminya, pesolek bagi suaminya, menjaga diri terhadap lelaki lain, taat pada ucapan suaminya dan perintahnya, dan apabila bersendirian dengan suaminya, dia pasrahkan dirinya pada suaminya itu.”
Sesungguhnya sebuah pernikahan itu bukanlah suatu hal yang bisa dipandang remeh dan dapat dipermainkan. Ia merupakan ikatan yang telah menjadikan yang haram menjadi halal, ia butuh kesefahaman hati, tolak angsur, pengertian, kerelaan, saling percaya, kasih-mengasihi, tolong-menolong, dan sebagainya yang tampa semua itu dua jiwa yang berlainan sifat dan jenis tidak akan bisa mengarungi bahtera kehidupan yang baik.
***
Saat suara ngaji terdengar jelas adari arah pengeras suara masjid didekat rumahku. Aku langsung terbangun. Kubangunkan Akmal dengan lembut. Kupegang tangannya, terasa begitu dingin. Ku sentuh dahinya begitu panas. Ia kemudian membuka matanya dan tersenyum.
“kenape ne Akmal…? Antum tak sihat ke?” tanyaku khawatir.
“Entahlah… saye rase kurang sehat siket pagi ni.”
Lelaki tinggi semampai itu kemudian bangkit dan segera menyucikan dirinya. Kami menunaikan shalat subuh berjama’ah pagi ini. Akmal yang mejadi imam kami sekeluarga kali ini, meski suaranya sangat pelan tapi ia menyelesaikan wiridnya dengan baik. Kusalami ia dengan penuh hormat. Tangannya begitu dingin.
“saye masih berase mengantuk Awa…, Mak… along dan semuenye, saye mintak diri untuk tidur lagi sejenak ye.” Ucapnya pada seluruh orang yang ada pada saat itu. Ia berranjak menuju kamar. Akupun menyusulnya. Kudengar ia terbatuk-batuk. “Akmal sakit ke?” Tanya emak saat aku kedapur membuatkan segelas teh untuk suamiku. “entahlah mak, agaknye demikianlah keadaannye.”
Aku pun menuju ke kamar dan membawa sebutir obat batuk untuknya. “terima kasih” ucapnya perlahan. Aku mengangguk dan tersenyum. “Antum tidurlah dulu ye” ujarku sambil membaringkannya keatas tilam. “Saye minta maaf telah menyusahkan awak…” lanjutnya lagi. “sudahlah Akmal… Awa tak rase keberatan pun.” Jawabku singkat. “Saye mintak maaf atas segalenye. Saye nak tidur dulu. Mengantuk rasenye. Saye sangat-sangat sayangkan awak Awa.” Aku tersenyum. Kuperhatikan tidurnya seketika. Kuselimuti dia dan setelah mencium dahinya aku keluar menemui emak didapur.
Entah kenapa tiba-tiba saja hatiku terasa begitu sedih. Kutinggalkan pekerjaan memasakku buat memastikan keadaan Akmal sesaat. Sewaktu aku memanggilnya untuk sarapan tak ada sahutan yang terdengar. Kudekati ia dengan harap-harap cemas. Kusentuh tangannya, sejuk adanya. Tak ada respon dari guncangan tubuhnya yang aku perbuat. Dadaku mulai sesak dan aku bingung. Kuperiksa nadinya, tak terasa getaran apapun. Air mataku mengalir, sambil berisak aku memanggil emak. Semuanya berkumpul dikamar ku. semuanya mencoba mengejutkan suamiku, tapi tak ada gunanya. Akmal kini telah tiada. Ia pergi sesaat saja kami melalui sebuah ikatan pernikahan. Kini dapat kupahami semua ucapannya dan tingkah anehnya sejak semalam aku bersamanya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar