Rabu, 26 September 2012

Menjemput Jodoh Kedua (Novel) Penulis : Humaira Al Husna Penyunting : Indiepro Tata Letak : Dani Ardiansyah ISBN : 978-602-18150-0-7 Ukuran : xv + 99 hlm; 13 x 19 cm Harga : Rp 32.500 + ongkir dari Depok “…sebagian orang yakin bahwa pacaran adalah masa penjajakan untuk mengenal dan bertemu jodoh. Namun, bukankah Fatimah tidak perlu mengumbar cintanya di hadapan Ali hingga akhirnya Allah Swt. menyatukan cinta mereka dalam sebuah ikatan yang halal, yaitu pernikahan?” Salwa adalah seorang aktivis mahasiswa yang aktif dalam berbagai organisasi dakwah. Kesibukannya membuat dia lupa untuk segera menikah, hingaa orang tuanya menjodohkan dengan Akmal. Sebenarnya Salwa mencintai Rasya, tapi sikap Rasya yang tak tegas membuat Salwa mengikuti perjodohan yang diatur oleh keluarganya. Dua hari setelah menikah, Akmal meninggal. Menjadi seorang janda muda membuat Salwa terbebani secara mental, apalagi ia mengandung anak dari buah pernikahannya dengan Akmal. Sang Ibu menyarankan Salwa agar segera menikah kembali. Namun, Salwa bingung dan tidak percaya diri. Status janda membuat Salwa merasa minder. Keaktifannya dalam organisasi hilang seketika. Cobaan hidup datang silih berganti, setelah suaminya meninggal, Salwa juga kehilangan anak yang ada dalam rahimnya. Sanggupkah Salwa menjalani cobaan demi coban? Akankah Salwa menemukan jodoh yang kedua? ================ Tertarik dengan buku ini? Bisa pesan via SMS ke 085694771764 dengan Format : Nama, Alamat Lengkap, Judul Buku yang dipesan, Jumlah pembelian. Lalu Indiepro akan mengkonfirmasi ongkos kirim ke alamat kamu. Setelah itu, kamu bisa transfer uang pembelian + Ongkos kirim ke no rekening berikut ini : BSM an Dani Ardiansyah No.:6007006333 (cab. Jkt. Hasanudin) BCA an Dani Ardiansyah No.:8690871883 (cab. Depok) So, what u waiting for? Pesan sekarang juga!

Senin, 15 November 2010

Destinasi Cinta Salwa

Bagian 1

Pernikahan

Malam berarak perlahan meninggalkan senja yang berhawa begitu dingin. Langit tampak begitu gelap dan pekat tampa terlihat cahaya bulan dan bintang yang menghiasinya. Tampaknya hujan akan segera mencurah menyirami bumi yang tandus ini.
“mak … Awa dah pun membuat keputusan.” Beritahuku pada wanita kurus yang selalu aku sanjungi sepanjang hayatku itu pada saat kami sedang menikmati makan malam yang sederhana di ruang tengah gubuk ku yang terindah pada suatu hari.
Wajah emak yang tadi terlihat tampa makna kini berubah penuh tanda Tanya memandangku dengan tatapan heran. Sesaat emak kembali dengan kesibukannya yang memaksakan diri untuk memasukan nasi kemulutnya. “mak… Awa telah membuat suatu keputusan.” Ulangku lagi pada emak yang tak menampakkan ekspresi apapun.
“keputusan tentang ape Awa?” respon emak seraya menyudahi makannya. Aku telah sejak tadi menyelesaikan makan malamku. Sengaja ku pilih waktu seperti itu karena memang aku tak pernah punya waktu yang cukup baik untuk berbicara dengan emak. Kesibukanku di kampus dan beberapa organisasi yang ku ikuti sangat cukup menyita waktuku. “pasal pinangan itu.” Ujarku tak berbasa basi.
Emak kembali menatapku dengan tatapan herannya. Beliau seolah-olah penasaran dengan keputusan yang telah kubuat setelah mempertimbangkan baik buruknya. Keputusan yang akan merubah dan menentukan jalan hidupku selanjutnya. Tatapannya penuh tanda Tanya keputusan apakah yang telah aku buat.
“sepertinya ini adalah takdir Allah yang telah tergaris di tapak tangan, untuk itu Awa ikhlas dengan jodoh yang telah emak pilihkan untuk Awa.” Terasa sangat perih hatiku disaat mengucapkan semua itu. Terasa titis hangat jatuh ke pipi ku, dengan segera kuseka ia dan membujuk hati ku sendiri.
Emak menggeserkan tubuhnya didekatku. Dipeluknya aku dengan dekapan yang hangat. Sungguh tak dapat ku pahami pelukan apakah itu. Pelukan yang menggambarakan bahwa hatinya sedang bahagia tau pelukan untuk menenangkan hatiku yang sedang berkecamuk. Hanya emak yang tau sejatinya.
‘Alhamdulillah, semoga Awa akan bahagia kelak.” Ucap wanita yang senantiasa sabar ini padaku. Hatiku semakin perih bak diiris dengan belati. Tapi biarlah aku saja yang memakan hatiku sendiri daripada aku memakan hati seorang wanita yang telah melahirkan aku dengan taruhan nyawanya itu.
“kalau begitu… nanti mak akan bicarekan lagi semue nye dengan Akmal, atau mungkin Awa mau mak jumpekan dengan Akmal?” ucap emak dengan menyungging senyumnya yang merekah.
“Tak payah lah mak, tiap hari Awa jumpe Akmal di kampus. Kalau memang mak nak berunding sile ajelah berunding dan putuskan segale sesuatunye dengan Long Karim dan keluarge Akmal.” Sengaja ku pilih untuk bersikap demikian, karena aku takut keputusan yang telah kubuat dengan susah payah itu akan berubah lagi jika aku kerap berbicara dan bertemu dengan keluarga Akmal. Biarlah aku menghadapi mereka pada hari pernikahan saja, karena pada saat itu aku tidak mungkin punya pilihan lain selain menerimanya.
“kenape pulak macam tu? Kan lebih baek Awa becakap langsung dengan Akmal. Bukankah semenjak beberape bulan terakhir ini hubungan silaturahmi kalian berdue tak begitu baek?” emak mulai mempersoalkan keputusanku.
“Awa telah memenuhi kehendak emak dan Along… bolehkah untuk kali ini emak mendengarkan permintaan Awa?” aku berlalu kemudian meninggalkan emak dalam keadaan tercengang dengan permintaanku itu.
Tak kuasa kutahan tangisku yang sudah menghujam. Kuluapkan segalanya diatas tilam milikku. Tiba-tiba bayang-bayang dari sosok lelaki ligat dan cerdas memenuhi ruang pikirku. Seorang lelaki yang telah menggoda hatiku begitu jauh dan dalam. Tapi dia tidak bisa kupertahankan.
“maafkan aku Rasya… andai saja kamu lebih berani…” sunguh tak sanggup untuk kulanjutkan kata-kataku lagi. Tak ada gunanya mengaharpkan lelaki pengecut seperti Rasya. Tiada gunanya memikirkan seorang pecundang cinta yang tak bisa keluar dari rasa takutnya pada masa depan. “sudahlah Awa… lupakan dia dan terimalah Akmal dengan hati yang ikhlas.” Pujuk diriku sendiri.
***
Dua minggu telah berlalu. Kini aku telah menjadi istri seorang bernama Akmal Syihab bin Marzuki. Dengan sebuah pesta pernikahan yang cukup sederhana telah kulalui sebuah akad pernikahan yang syah dimata agama dan hukum.
Aku siapkan kamar tidur seadanya. Ku letakkan pakaian persalinan untuk suamiku di atas katil. Kutunggu ia keluar dari bilik air dengan perasaan yang tak menentu. Kupersiapkan diriku sepatutnya seorang istri yang menunggu suaminya. Walau begitu hancur batinku, kutarik kedua ujung bibirku menyungging sebuah senyum. Dia keluar sambil tersenyum kearahku.
Pikiranku masih asyik dengan kegalauannya. Sungguh tak pernah kuduga Akmal lah yang akan mendampingi hidupku. Seorang rekan kuliah yang tak pernah menempati tempat special dihatiku, kini justru menjadi imamku.
“sayang, boleh tak ambilkan saye segelas air?” pintanya sambil mengelapkan handuk di kepalanya.
“iye… ini bajunye.” Ucapku menyodorkan baju gantinya dan bergegas kedapur mndapatkan segelas air putih suam kuku.
Air mataku menetes perlahan. Kulihat suasana rumah yang sudah senyap. Jam dinding yang terpasang diruang tamu menunjukkan pukul 2 pagi. Ku kesat air mata yang menetes dipipiku dengan jari tangan. Segera aku kembali ke kamar tidurku.
Sewaktu aku kembali kekamar, kulihat suamiku sedang khusuk berdoa diatas sajadah. Mulutnya berkomat kamit tak tahu apa yang diucapkannya. Kunanti ia menyelesaikan doanya. Kemudian ia bangun dan menghampiriku. Ku hulurkan segelas air padanya. Ku kumpulkan seluruh keteguhan hatiku untuknya. Aku berusaha mempersiapkan diri sebagi seorang istri yang mampu menyediakan dan memenuhi segala keperluan dan kebutuhan suamiku.
“Assalamualaikum, wahai pintu rahmat.” Bisik Akmal padaku.
‘Waalaikummusalam, wahai tuan pemilik yang mulia.” Jawabku.
Malam yang hitam pekat itu kulalui dengan bertemankan seorang lelaki yang telah kuserahkan segenap jiwa dan ragaku padanya. Sebagi seorang istri, aku mesti senantiasa patuh selagi ia tidak bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul.
Rasulullah bersabda:
“sebaik-baik istri itu ialah yang dapat menenangkan kamu apabila kamu melihatnya dan taat kepada kamu apabila kamu perintah dan memelihara dirinya dan menjaga harta kamu apbila kamu tiada.”
Rasulullah juga bersabda:
“Setiap wanita itu adalah pengurus sebuah rumah tangga suaminya dan akan ditanya hal urusan itu.”
Selanjutnya Rasulullah bersabda:
“sesungguhnya wanita yang baik itu adalah wanita yang beranak, besar cintanya, pemegang rahasia, berjiwa kesatria terhadap keluarganya, patuh terhadap suaminya, pesolek bagi suaminya, menjaga diri terhadap lelaki lain, taat pada ucapan suaminya dan perintahnya, dan apabila bersendirian dengan suaminya, dia pasrahkan dirinya pada suaminya itu.”
Sesungguhnya sebuah pernikahan itu bukanlah suatu hal yang bisa dipandang remeh dan dapat dipermainkan. Ia merupakan ikatan yang telah menjadikan yang haram menjadi halal, ia butuh kesefahaman hati, tolak angsur, pengertian, kerelaan, saling percaya, kasih-mengasihi, tolong-menolong, dan sebagainya yang tampa semua itu dua jiwa yang berlainan sifat dan jenis tidak akan bisa mengarungi bahtera kehidupan yang baik.
***
Saat suara ngaji terdengar jelas adari arah pengeras suara masjid didekat rumahku. Aku langsung terbangun. Kubangunkan Akmal dengan lembut. Kupegang tangannya, terasa begitu dingin. Ku sentuh dahinya begitu panas. Ia kemudian membuka matanya dan tersenyum.
“kenape ne Akmal…? Antum tak sihat ke?” tanyaku khawatir.
“Entahlah… saye rase kurang sehat siket pagi ni.”
Lelaki tinggi semampai itu kemudian bangkit dan segera menyucikan dirinya. Kami menunaikan shalat subuh berjama’ah pagi ini. Akmal yang mejadi imam kami sekeluarga kali ini, meski suaranya sangat pelan tapi ia menyelesaikan wiridnya dengan baik. Kusalami ia dengan penuh hormat. Tangannya begitu dingin.
“saye masih berase mengantuk Awa…, Mak… along dan semuenye, saye mintak diri untuk tidur lagi sejenak ye.” Ucapnya pada seluruh orang yang ada pada saat itu. Ia berranjak menuju kamar. Akupun menyusulnya. Kudengar ia terbatuk-batuk. “Akmal sakit ke?” Tanya emak saat aku kedapur membuatkan segelas teh untuk suamiku. “entahlah mak, agaknye demikianlah keadaannye.”
Aku pun menuju ke kamar dan membawa sebutir obat batuk untuknya. “terima kasih” ucapnya perlahan. Aku mengangguk dan tersenyum. “Antum tidurlah dulu ye” ujarku sambil membaringkannya keatas tilam. “Saye minta maaf telah menyusahkan awak…” lanjutnya lagi. “sudahlah Akmal… Awa tak rase keberatan pun.” Jawabku singkat. “Saye mintak maaf atas segalenye. Saye nak tidur dulu. Mengantuk rasenye. Saye sangat-sangat sayangkan awak Awa.” Aku tersenyum. Kuperhatikan tidurnya seketika. Kuselimuti dia dan setelah mencium dahinya aku keluar menemui emak didapur.
Entah kenapa tiba-tiba saja hatiku terasa begitu sedih. Kutinggalkan pekerjaan memasakku buat memastikan keadaan Akmal sesaat. Sewaktu aku memanggilnya untuk sarapan tak ada sahutan yang terdengar. Kudekati ia dengan harap-harap cemas. Kusentuh tangannya, sejuk adanya. Tak ada respon dari guncangan tubuhnya yang aku perbuat. Dadaku mulai sesak dan aku bingung. Kuperiksa nadinya, tak terasa getaran apapun. Air mataku mengalir, sambil berisak aku memanggil emak. Semuanya berkumpul dikamar ku. semuanya mencoba mengejutkan suamiku, tapi tak ada gunanya. Akmal kini telah tiada. Ia pergi sesaat saja kami melalui sebuah ikatan pernikahan. Kini dapat kupahami semua ucapannya dan tingkah anehnya sejak semalam aku bersamanya.
***

Seri Melekang

Disebelah Timur Jemaja, Kab. Anambas terdapat sebuah kampung bernama Lakang. Lakang adalah sebuah perkampungan yang indah dan terkenal dengan hasil karangnya (lautnya). Kampung ini tidak terlalu luas hanya berukuran ± 2 km2, terletak dibelakang Bluesand dan berhadapan langsung dengan laut Cina Selatan. Dari kampung ini pula dapat dilihat secara samar-samar Pulau Telaga dan dengan jelas dapat dipandang mata Pulau Kiabu yang terletak diseberangnya.
Lakang adalah sebuah perkampungan yang cukup ramai penduduknya pada masa dahulu, namun sekarang ia telah menjadi sebuah kampung yang mati tampa penghuni. Lakang terkenal karena keunikan pantainya yang berbeda dari pantai-pantai yang ada di Jemaja bahkan Anambas. Meski pantainya tidak terlalu luas, namun pasirnya yang berwarna kemerah-merahan telah membuat Lakang memiliki gaung tersendiri dalam hati masyarakat Jemaja. Berbagai versi cerita dan mitospun telah hidup dalam kehidupan social mereka secara turun temurun.
Pada zaman dahulu, kononnya kampung ini belum bernama Lakang seperti sekarang ini. Orang-orang pada masa dahulu hanya menyebutnya dengan sebutan kampung berkarang. Disinilah hidup sebuah keluarga yang sangat sederhana dan bersahaja yaitu keluarga Pak long Mat. Beliau adalah pemimpin di kampungnya yang hanya terdiri dari beberapa keluarga yang juga hidupnya tak jauh berbeda dengan Pak long Mat. Mata pencaharian penduduk Pantai Berkarang adalah nelayan. Setahun sekali apabila musin Utara tiba, desa ini menjadi sangat ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah yang berdekatan dengannya. Kedatangan mereka ialah untuk berkarang mencari berbagai macam makanan laut yang ada disana seperti pangsek , Ringgik Remis dan Ranggong .
Pak long Mat hidup bersama istri dan seorang anak perempuannya, bernama Seri Melekang yang kecantikannya juga telah membuat gaung kampung Pantai Berkarang menjadi besar belipat-lipat ganda dari ukurannya. Kononnya, Seri Melekang memiliki rambut yang sangat panjang, indah dan halus bak sutra. Panjang rambutnya mencapai 7 (tujuh) penggalah ampaian apabila ia ingin mengeringkan rambutnya. Budi pekertinya sangat baik dan santun seelok parasnya yang selalu menjadi dambaan para pemuda pada masa itu.
Banyak sudah para pemuda dari berbagai penjuru daerah telah datang menemui Pak Long Mat dengan hajat hendak menyunting putrinya yang tersohor itu. Namun, sebagai seorang Encik yang sangat mencintai buntat hatinya satu-satunya itu, ia belum berani menerima satupun dari lamaran mereka karena Seri sendiri belum hendak berkawin. Pak long Mat menjadi runsing dan khawatir akan keadaan itu. Ia menjadi gusar dan sangat bingung apa yang hendak diperbuat. Kalaupun Seri bersetuju ingin menikah, tetap saja ia akan bingung menentukan siapa yang akan menjadi menantunya kelak.
Suatu hari, ketika Seri sedang duduk makan bersama kedua orang tuanya, ia mendapati raut wajah Enciknya tak seperti biasa. Pak long Mat tampak begitu tak berselera dengan hidangan sagu butir dan pindang kerisinya. Hal ini membuat Seri menjadi khawatir dan hatinya bertanya-tanya.“apekah ade yang kurang dengan makanan kite malam ini Encik?” Tanya Seri pada lelaki yang terlihat setengah termenung itu penuh keherannan. “Oh, tidak anakku, gulai ini sangat sedap adenye.” Jawab Pak Long Mat dalam keadaan hampir terperanjat. “lalu mengape tak dimakan barang sesuappun Encik?” Tanya Seri lagi semakin bingung. “Encik kamu itu tengah bingung memikirkan nasib kamu Seri.” Tiba-tiba Mak Pipah Menyahut dari arah dapur. Ia membawa segantang latoh untuk dicecah bersame air asam maram . Seri terdiam dan menatap perempuan yang masih elok parasnya itu meskipun telah dimakan usia. “kami ini tak akan hidup menongkat dunie Seri, kami ingin kamu secepatnye punye pendamping hidup.” Sambungnya lagi seolah mengerti makna tatapan buah hatinya itu.
Demikianlah perbincangan tiga beranak itu sambil menikmati makan malam mereka yang sangat bersahaja. Akhirnya Seri bersutuju untuk menikah. Akan tetapi ia meminta kepada kedua orang tuanya agar yang menentukan pilihan siapa yang akan menjadi suaminya kelak, adalah dirinya sendiri. Karena terlalu banyak pemuda yang ingin menyunting dirinya, Seri pun memberikan sebuah syarat bagi siapa yang datang melamarnya. Syaratnya ialah Ia hanya akan menikah dengan seorang pemuda kaya yang mampu memberikan suatu benda yang akan sangat berguna baginya sebagai hantaran, namun benda apakah itu Seri tidak menyebutkannya. Ia sengaja hendak menguji sejauh mana pemikiran dan perhatian seorang lelaki terhadap dirinya.
Keesokan harinya, Pak Long Mat mengumumkan kepada orang-orang kampung mengenai prihal tersebut. Berita tentang syayembara itupun dengan cepatnya menyebar hingga kepelosok negeri Melayu pada saat itu. Pemuda-pemudapun berdatangan membawa beraneka ragam barang-barang untuk ditawarkan sebagai hantaran. Ada Emas, uang, Pakaian, Kain sutra, dan lain sebaginya. Semua barang-barang itu diberikan kepada Seri secara cuma-cuma walau tak satupun dari mereka yang mampu menarik hati Seri.
Sebulan kemudian, seorang pemuda berpakaian sangat kumuh dengan sebuah sampan yang kelihatan sangat sudah tua singgah di Kampung Bekarang. Tubuhnya kelihatan begitu dekil namun sangat tegap dan kuat. Wajahnya cukup tampan walaupun kelihatan seperti tak terawat. Pemuda itu sangat kebingungan dan bersedih karena perahunya sedang rusak berat sehingga ia harus singgah di Pantai bekarang itu. Ia datang menemui Pak Long Mat kerena beliau membutuhkan pertolongan untuk memperbaiki perahunya yang rusak.
Kedatangan pemuda itu disambut ramah oleh keluarga Pak Long Mat. Pemuda yang bernama Baya itu ialah perantau dari negeri seberang. Ia diizinkan tinggal di Rumah Pak Long Mat sampai perahunya selesai diperbaiki. Pemuda itu sangat rajin dan pandai mengambil hati orang disekitarnya. Baru saja 1 minggu ia tinggal disana, Pak Long Mat berhasil dibuatnya jatuh hati kepada budi pekertinya yang baik itu. Pak Long Mat berpikir hendak menjodohkan anak semata wayangnya kepada pemuda tersebut. Maka disampaikanlah maksudnya itu kepada Seri Melekang.
“Menurut Encik, Baya adalah pemuda yang baik dan bertanggung jawab. Sikapnya santun dan penuh pengertian, bisa diajak berunding dengan baik. Tapi sayang… dia tidaklah kaya seperti yang kamu harapkan,” ucap Pak Long Mat pada suatu waktu ketika Seri sedang menjemur rambutnya di belakang rumah yang memang disediakan khusus untuk Seri tampa di ganggu oleh siapapun. Mendengar ucapan Enciknya tersebut, Seri hanya tersenyum dikulum. “Apakah kamu tidak menaruh hati sedikitpun pada pemuda malang itu, wahai anakku Seri?” Tanya ayahnya penuh harap. Mendengar pertanyaan itu, Seri menjawab dengan tenang. “baiklah kalau begitu Encik, suruhlah dia mengikuti syayembara yang telah kita adakan ini. Persyaratannya berlaku untuk siapapun. Jika ia sekarang miskin maka mintalah ia untuk merubah dirinya menjadi orang yang kaya.” Mendengar jawaban itu, Pak Long Mat menjadi bingung. Namun ia tetap menyampaikan prihal tersebut kepada Baya.
Keesokan paginnya, Baya dihadapkan secara langsung kepada Seri Melekang. Kali ini dapat dilihatnya secara jelas kecantikan gadis tersebut, karena selama dua minggu ia berada dirumah Pak Long Mat, Baya tak pernah berbicara langsung dan berkontak langsung dengan Seri. Setiap geraknya dibatasi karena adat pada waktu itu memang sedemikian adanya. Antara lelaki yang masih asing dengan perempuan yang bukan kerabatnya tidak dibenarkan berhubungan terlalu dekat.
“Baiklah tuan Baya, karena tuan sudah berani datang kemari menemui saya, maka saya ingin tuan menjawab dua pertanyaan yang akan saya ajukan. Pertama, saya menginginkan seorang pemuda yang kaya, lalu apakah tuan sudah menjadi orang yang kaya saat ini? Kedua, saya ingin tuan memberikan saya sebuah benda yang sangat beharga dan berguna bagi saya, lalu apakah yang akan tuan berikan kepada saya sebagai hantaran?” mendengar pertanyaan tersebut, Baya tersenyum tenang. Ia lalu menjawab dengan bait-bait pantun:
“Jika ikan kusangka buaya
Buaya bertapa ditepi dermaga
Bukanlah intan membuat kaya
hati manusia yang paling beharga

buaya bertapa ditepi dermaga
diikat sauh putus talinya
intan tiada emaspun tak punya
sikat buluh menjadi gantinya.”

Mendengar pantun tersebut, Seri merekah senyumnya tanda gembira hatinya. “baiklah tuan Baya, sungguh indah bait kata dalam pantun tadi, akan tetapi saya kurang mengerti dengan makna yang tuan maksudkan.” Tanya Seri seolah-olah bingung dengan maksud dari pantun yang baru saja ia dengar.
“Begini, jika saudari mengharapkan seorang lelaki yang kaya, maka saya tawarkan hati yang kaya akan cinta kasih ini kepada saudari. Apabila saudari menginginkan sesuatu dari saya, maka hanya sikat rambut yang berasa dari buluh inilah yang saya punya. Sikat ini akan sangat berguna bagi saudari karena buluh yang telah saya raut dengan halus dan rapi ini tidak akan merusak rambut saudari yang indah itu.” Jelas Baya kepada Seri Melekang dengan penuh keyakinan.
“Akhirnya, pucuk dicinta ulampun tiba. Jikalau kecik tapak tangan maka nyiru saya tadahkan. Sebaiknya tuan Baya bergegas menemui Encik saya dan dengan penuh suka cita maka saya bersedia tuan persunting.” Demikianlah, akhirnya merekapun menikah dengan beremas kawinkan sebuah sikat rambut dari buluh.
Waktu berlalu dari hari berganti minggu, kemudian minggu merangkai bulan dan berubah menjadi tahun. Baya dan Seri senantiasa rukun dan saling kasih-mengasihi. Tampa mereka sadari bahwa kebahagiaan mereka menimbulkan rasa iri dihati orang lain, terlebih lagi bagi Sulabi yaitu seorang pemuda dari kampung seberang yang sakit hatinya karena tidak bisa mempersunting Seri Melekang menjadi istrinya.
Kebencian Sulabi semakin menjadi-jadi setelah orang tua Seri meninggal dunia. Kepergian Pak Long Mat yang diakibatkan sakit parah kemudian disusul oleh ibunya yang juga sakit. Sulabi seringkali berusaha mengusik Seri dan tak segan-segan mengusiknya dihadapan Baya. Namun Seri dan Baya tak mempan dengan semua itu. Keteguhan hati mereka tak mampu digoyahkan oleh fitnah-fitnah yang kerap dilontarkan oleh Sulabi. Hingga pada suatu ketika, dimana Baya sangat teringin pulang ke kampungnya. Dari kabar orang yang satu kampung dengannya, Baya mendengar kabar bahwa ibunya sedang sakit keras. Pada saat itu cuaca sedang pada musim utara. Baya tak ingin membawa istrinya pulang karena kekhawatirannya akan gelombang besar yang tentu akan membuat istrinya tak bisa bertahan dengan sebuah perahu yang kecil.
Baya akhirnya meninggalkan Kampung Pantai Bekarang dengan berat hati atas izin istrinya. Iapun segera berlayar dengan sebuah perahunya yang sudah tua menuju kampung seberang yang cukup jauh. Beberapa hari sudah pasti ia butuhkan untuk sampai keseberang. Tinggalah Seri seorang diri dirumah bertemankan kesepian yang panjang. Sudah berminggu-minggu Baya pergi namun tak didengarnya berita tentang prihal suaminya itu. Seri menyadari pula bahwa ada sesuatu yang hidup didalam rahimnya, Ia sedang mengandung anak hasil pernikhannya dengan Baya. Besar harapanya bahwa Baya segera kembali.
Setelah 6 bulan meninggalkan Seri, Baya akhirnya kembali ke kampung Pantai Bekarang. Tentulah hati Seri sangat bahagia tak terkira. Penantiannya kini telah berhujung kenyataan, suaminya telah kembali. Namun bukan kebahagiaan yang telah lama ia harapkan ternyata hanya lah mimpi. Baya memang kembali menemuinya tetapi bukan dengan membawa cinta kasih yang diharapkan. Rasa cemburu dan sakit hati yang begitu besar kepada Seri ternyata telah menghapus semua cinta nya kepada Seri.
Baya menuduh Seri telah berbuat curang selama pemergiannya dan anak yang dikandung oleh Seri itupun tak sudi diakuinya sebagai darah dagingnya. Lelaki itu benar-benar beranggapan bahwa Seri telah melakukan perselingkuhan disaat ia tidak berada dirumah. Pertengkaran suami istri ini pun tak terelakkan lagi.
“Demi Tuhan bang… saya tidak pernah mendustakan abang. Rumah tua dan pasir kampung ini adalah saksi kesetiaan saya menanti abang.” Ratap Seri dalam tangis yang memilukan.
Rupanya Salubi telah berhasil membuat fitnah yang menyebar keseluruh kampung. Salubi yang jahat dan busuk hatinya itu telah mengatakan kepada seluruh orang kampung bahwa ia sering berjumpa dengan Seri dirumah nya. Orang kampung dengan mudah percaya karena memang Seri yang kesepian ditinggal suaminya dan ditambah lagi hidupnya yang tidak berkecukupan tentunya tak akan menolak ditemani lelaki yang kaya-raya seperti Salubi. Cerita itulah yang membuat Baya sakit hati dan marah besar kepada Seri.
“saksi yang engkau bawa kehadapanku adalah saksi yang tak bisa menceritakan apapun.” Desak Baya kepada Seri dalam amarahnya. “lalu apakah yang bisa membuat abang percaya kepada saya?” Tanya perempuan malang itu pasarah, namun Baya hanya bisu dengan tatapannya yang penuh amarah. Matanya memerah bak singa yang siap menerkam mangsanya.
“baikalah bang… jika memang taka ada yang bisa membuatmu percaya maka biarlah alam dan saksi yang telah saya ajukan tadi berbicara dengan bahasanya.” Ucap Seri seraya bangkit menuju pintu rumah. Baya tak bergeming maupun menoleh kearahnya. “mungkin jika saya mati barulah abang akan melihat kebenarnnya. jika semua yang telah kukatakan padamu adalah benar adanya, maka setiap butir pasir di pantai kampung ini akan berubah warnanya menjadi merah apabila tertetes dengan darahku. Tetapi apabila saya berdusta maka tak akan terjadi apapun.” Seri meraih sebuah keris peninggalan Enciknya kemudian menuruni tangga rumah panggung mereka. Baya terperanjat dan berusaha mengejar Seri yang sepertinya sudah berputus asa dan berniat mengakhiri hidupnya.
“tunggu Seri! Jangan lah engkau lakukan itu!” teriak baya sembari mengejar Seri yang berlari menyusuri pantai. “ya Tuhan… sungguh kejam duniaMu ini. Jadikalah darahku sebagai tanda kebesaranMu.” Maka seketika kilat menyambar alam dunia. Bulan yang tadinya bersinar indah seketika berubah murung. Seri pun menusukkan keris yang dibawanya tadi kearah jantungnya, kemudian dengan dada yang tertancap keris itu ia berlari hingga tubuhnya jatuh di ujung pantai diantara susunan batu tanjung yang hitam pekat. Seketika itu pula sebuah gelombang besar menghantam kearahnya dan tubuh wanita yang suci itupun raib ditelan gelombang.
Baya yang bingung berusaha mencari-cari tubuh istrinya yang sebenarnya amat disaynginya itu. Langit mulai bewarna cerah, sinar jingga mentari mulai tampak menerangi alam. Alangkah terperanjatnya Baya ketika matanya melihat butiran pasir pantai yang warnanya memerah. Ia lalu mengengam pasir sekuat tenaganya seraya berkata “Oh, sungguh malang nasibmu Seri, engkau telahpun membuktikan kepadaku bahwa sungguh bersih hatimu.”
Demikianlah, sejak saat itu jasat Seri tak pernah ditemukan oleh siapapun. Penduduk percaya bahwa tubuhnya terlalu bersih sehingga alampun tak rela jika tubuhnya dilihat oleh orang lain. Orang-orang kampung bersepakat untuk mengubah nama kampung mereka menjadi kampung “Melekang” sebagai bentuk permohonan maaf karena percaya bahwa Seri Melekang telah melakukan perselingkuhan.


Mereka berharap nama kampung yang baru itu akan membuat cerita kepada generasi selanjutnya bahwa di kampung ini pernah hidup seorang gadis yang baik, cantik dan indah perangainya. Namun sejalan dengan pergantian waktu, nama “Melekang” dirasakan terlalu panjang untuk disebut sehingga kemudian berubah menjadi “Lakang” seperti yang kita kenal hingga hari ini. Kata “Lakang” dalam bahasa melayu diartikan sebagai “Melekang”.

----------------------- S E L E S A I --------------------



Juara Harapan I Lomba Cerita Rakyat
Perpustakaan Prov. KEPRI
2009

Selasa, 27 Juli 2010

Serangkai Kata tuk Bonda Tercinta

Hadirmu … Ditanah kering, gersang nan panas
Menjanjikan kesuburan
Keberadaanmu Di atas tanah berlumpur, berbatu lumut nan licin
Kehidupan yang terjanjikan
Siapakah kamu
Do’amu …Dipagi nan dingin terdengar menggema menguak cakrawala
membangunkan insan yang masih asyik terbuai lelap kesengsaraan
Gerak mu yang sepanjang mentari bercanda dengan awan
mengubah getir hidup yang tak pernah berujung nan tak terbatas
berharap kan ada kepastian hidup sarat makna
Ratapmu… Dimalam nan sunyi tanda syukur berbingkai sujud pada Yang Khaliq
Siapakah kamu
Kini…
Hamparan tanah kering, gersang nan panas itu telah menjadi oase kehidupan
Diatasnya kau pancangkan bendera kebanggaan
Telah kau didik putra-putrimu dengan keteladanan
Lebih kuat nan cepat tampa mangkat
Aku bangga menjadi anakmu
Ibu…
TPI, 03-01-10

Selasa, 13 Juli 2010

ANEKDOT MATEMATIKA

ANEKDOT MATEMATIKA “Bilangan Prima”
Dalam suatu pelajaran matematika di ruang kelas, professor kita bidang matematika sedang memberikan perkuliahan dengan pokok pembahasan “bilangan prima”. Professor menyampaikan bahwa bilangan prima adalah suatu bilangan yang hanya mempunyai dua factor saja, atau dengan kata lain hanya dapat dibagi dengan bilangan 1 dan bilangan dirinya sendiri. Tersebutlah seorang siswa bernama Ijul begitu terkesan dengan penjelasan sang professor matematika.
Suatu hari Ijul mendapat paket dari orang tuanya berupa buah jeruk yang segar, besar dan berkualitas baik. Dibawanya paket tersebut kedalam kamar asrama dan diperlihatkan kepada kawan-kawan sekamarnya seraya berkata:
Ijul : “kawan-kawan, perhatikan jeruk saya ini, jeruk saya ini seluruhnya adalah jeruk prima”
Karim : “apakah yang engkau maksud dengan jeruk prima adalah jeruk yang bagus, segar, manis dan berkualitas baik?. Tampaknya kami sependapat dengan penilaian itu. Dan apakah engkau akan membaginya dengan kami?”
Ijul : “Oh, bukan begitu maksudku. Kawan-kawan masih ingatkah dengan penjelasan professor kita tentang bilangan prima? Bahwa jeruk prima adalah jeruk yang tidak dapat dibagi-bagi kecuali untuk bilangan satu atau dirinya sendiri, yaitu untuk diri saya sendiri, orang yang satu-satunya mendapat bagian.”
Teman lainnya: “Oh, dasar anak kedekut.”

(Al-Zaitun, edisi II)

Kamis, 24 Juni 2010

Salam Hai

Assalamu'alaikum....
hai, apa kabar IndonesiaQ???
tetep... asyik....